1. Pendahuluan
Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau,
tersebar dari Sabang hingga ke Merauke. Sejumlah besar (lebih dari 10.000 buah)
dari pulau-pulau tersebut adalah merupakan pulau-pulau berukuran kecil. memiliki keanekaragaman tumbuhan,
hewan jasad renik yang tinggi. Hal ini terjadi karena keadaan alam yang berbeda
dari satu pulau ke pulau lainnya, bahkan dari satu tempat ke tempat lainnya
dalam pulau yang sama. Sistem perpaduan antara sumber daya hayati dan tempat
hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem, yang masing-masing
menampilkan kekhususan pula dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat didalamnya.
Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi merupakan suatu koleksi yang unik dan
mempunyai potensi genetik yang besar pula. Namun hutan yang merupakan sumberdaya
alam ini telah mengalami banyak perubahan dan sangat rentan terhadap kerusakan.
Sebagai salah satu sumber devisa negara, hutan telah dieksploitasi secara
besar-besaran untuk diambil kayunya. Ekploitasi ini menyebabkan berkurangnya
luasan hutan dengan sangat cepat. Keadaan semakin diperburuk dengan adanya
konversi lahan hutan secara besar-besaran untuk lahan pemukiman, perindustrian,
pertanian, perkebunan, peternakan serta kebakaran hutan yang selalu terjadi di
sepanjang tahun.
Dampak dari eksploitasi ini adalah terjadinya banjir pada musim penghujan dan
kekeringan pada musim kemarau. Dengan demikian jelas terlihat bahwa fungsi hutan
sebagai pengatur tata air telah terganggu dan telah mengakibatkan berkurangnya
keanekaragaman hayati yang ada didalamnya.
Hutan sebagai ekosistem harus dapat dipertahankan kualitas dan kuantitasnya
dengan cara pendekatan konservasi dalam pengelolaan ekosistem. Pemanfaatan
ekosistem hutan akan tetap dilaksanakan dengan mempertimbangkan kehadiran
keseluruhan fungsinya. Pengelolaan hutan yang hanya mempertimbangkan salah satu
fungsi saja akan menyebabkan kerusakan hutan.
Laju kerusakan
hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 1,6 - 2 juta ha per tahun, sedangkan
kemampuan Pemerintah dengan Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan hanya
mampu merehabilitasi sekitar 3 juta ha dalam jangka waktu 5 tahun (2003-2007).
Apabila kegiatan Gerhan ini berhasil seluruhnya berarti masih tersisa sekitar 5
– 7 juta ha yang perlu direhabilitasi untuk mengimbangi kerusakan hutan yang
mencapai 8 - 10 juta ha dalam jangka waktu 5 tahun.
Berdasarkan hasil
penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002-2003, khusus di dalam kawasan
hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya adalah Hutan
85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta ha (29 %) dan tidak
ada data 8,52 juta ha (7 %) (BAPLAN, 2005). Ini berarti sebenarnya hanya sekitar
85,96 juta ha yang dapat dikatakan hutan dari kawasan hutan yang telah
ditetapkan..
Pelaksanaan pembangunan kehutanan yang semakin meningkat dapat menimbulkan
dampak lingkungan yang mengandung resiko perubahan lingkungan. Perubahan
tersebut dapat menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi dasar ekosistem hutan.
Hal semacam ini akan menjadi beban sosial, karena pada akhirnya masyarakat dan
pemerintahlah yang harus menanggung beban pemulihannya.
Dampak lingkungan (yaitu perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu
kegiatan) pembangunan kehutanan harus dapat dikendalikan, dalam arti dampak
negatif harus dapat ditekan seminimal mungkin, sedangkan dampak positif harus
terus dikembangkan. Dengan kata lain, kegiatan pembangunan kehutanan harus
berwawasan lingkungan sebagai sarana untuk mencapai kesinambungan dan menjadi
jaminan bagi kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang.
2. Sumber
Daya Hutan Indonesia
Hutan hujan tropis yang masih terdapat di bumi ini terkonsentrasi pada tiga
wilayah yaitu Amerika Selatan dan Tengah, Afrika Tengah Bagian Barat dan Wilayah
Indo-Malaya. Indonesia memiliki hutan hujan tropis paling luas untuk wilayah
Indo-Malaya. Dari 187,91 juta hektar luas daratan Indonesia terdapat
133,57 juta hektar kawasan hutan atau lebih kurang 71%. Indonesia, Brazil dan
Zaire yang merupakan negara dengan hutan tropis terluas di masing-masing benua,
yaitu Asia, Amerika dan Afrika, dikenal sebagai pertahanan terakhir dari hutan
hujan tropis dunia.
2.1. Tipe
Hutan
Tipe hutan di Indonesia dapat dibedakan dengan melihat faktor utama yang
mempengaruhinya, yaitu wilayah, edafik (tanah) dan iklim. Faktor wilayah
didasarkan pada letak Indonesia yang berada diantara benua Asia dan Australia,
sehingga pengaruh vegetasi dari kedua benua tersebut tampak nyata dari barat ke
timur. Oleh karena itu, hutan Indonesia dapat dibedakan ke dalam :
a. Zona barat, yaitu hutan dengan pengaruh kuat vegetasi
daratan Asia, meliputi pulau-pulau Sumatra, Kalimantan dan Jawa;
b. Zona peralihan, yaitu hutan dengan pengaruh vegetasi Asia
dan Australia sama besar, meliputi pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil di
sekitarnya;
c. Zona timur, yaitu hutan dengan pengaruh kuat vegetasi
Australia, meliputi Irian Jaya, Maluku dan Nusa Tenggara.
Disamping itu, juga terdapat pembagian ekosistem termasuk hutan Indonesia yang
lebih mendalam, yaitu berdasarkan Biogeographic
region. Menurut pembagian ini, terdapat tujuh
wilayah, yaitu (1) Sumatra, (2) Kalimantan, (3) Jawa-Bali, (4) Sulawesi, (5)
Nusa Tenggara, (6) Maluku, dan (7) Irian Jaya.
Tipe atau formasi hutan sebagai hasil dari pengaruh faktor edafik dan iklim
secara garis besar dapat dibedakan menjadi :
a. Hutan payau (mangrove) dengan ciri umum antara lain sebagai berikut
:
-
Tidak terpengaruh iklim;
-
Terpengaruh pasang surut,
-
Tanah tergenang air laut, tanah lumpur atau pasir, terutama tanah liat;
-
Tanah rendah pantai;
-
Hutan tidak mempunyai strata tajuk;
-
Tinggi pohon dapat mencapai 30 m;
-
Tumbuh di pantai merupakan jalur.
b. Hutan rawa (swamp forest) dengan ciri umum antara lain sebagai berikut
:
-
Tidak terpengaruh iklim;
-
Tanah tergenang air tawar;
-
Umumnya terdapat di belakang hutan payau;
-
Tanah rendah;
-
Tajuk terdiri dari beberapa strata;
-
Pohon dapat mencapai tinggi 50 - 60 m;
-
Terdapat terutama di Sumatera dan Kalimantan mengikuti sungai-sungai besar.
c. Hutan pantai dengan
ciri umum antara lain sebagai berikut :
-
Tidak terpengaruh iklim;
-
Tanah kering (tanah pasir, berbatu karang, lempung);
-
Tanah rendah pantai;
-
Pohon kadang-kadang ditumbuhi epyphit
-
Terdapat terutama di pantai selatan P. Jawa, pantai barat daya Sumatera dan pantai Sulawesi.
d. Hutan
Gambut (peat swamp forest) dengan ciri
antara lain sebagai berikut :
-
Iklim selalu basah;
-
Tanah tergenang air gambut, lapisan gambut 1 - 20 m;
-
Tanah rendah rata;
-
Terdapat di Kalimantan Barat dan Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi.
e. Hutan Karangas (heath forest) dengan ciri antara lain sebagai berikut :
-
Iklim selalu basah;
-
Tanah pasir, podsol;
-
Tanah rendah rata; .
-
Terdapat di Kalimantan Tengah.
f. Hutan Hujan Tropik (tropical rain
forest) dengan ciri umum antara lain sbb :
-
Iklim selalu. basah;
-
Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah;
-
Terdapat di pedalaman yang selanjutnya dapat dibagi lagi menurut ketinggian daerahnya, yaitu :
(1) hutan hujan bawah, terdapat pada tanah rendah rata atau berbukit dengan
ketinggian 2 - 2000 m dpl.;
(2) hutan hujan tengah, terdapat pada dataran tinggi dengan ketinggian 1000 –
3000 m dpl.;
(3) hutan hujan atas, terdapat di daerah pegunungan dengan ketinggian 3000 -
4000 m dpl.;
-
Tipe hutan ini terdapat terutama di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya.
g. Hutan musim (monsoon forest) dengan ciri umum antara lain sebagai berikut :
-
Iklim musim;
-
Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah;
-
Terdapat di pedalaman yang sdanjutnya dapat dibagi lagi menurut ketinggian, yaitu :
(1) hutan musim bawah terdapat pada ketinggian 2 - 1000 m dpl.;
(2) hutan musim tengah atas terdapat pada ketinggian 1000 - 4000 m dpl.;
-
Terdapat secara mozaik diantara hutan hujan di Jawa dan Nusa Tenggara.
2.2.
Kebijaksanaan Pengelolaan
Dalam rangka mengoptimalkan kelestarian berbagai fungsi hutan maka telah
dilakukan berbagai kebijaksanaan yang bersifat antar sektor melalui berbagai
aspek pengelolaannya sebagai berikut :
2.2.1. Alokasi Sumber Daya Hutan
Kawasan Hutan di Indonesia yang luasnya 133,57 juta hektar ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam bentuk Surat Keputusan tentang
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi. Penunjukan Kawasan Hutan ini
disusun berdasarkan hasil pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
Tata Guna Hutan
Kesepakatan merupakan rencana pengukuhan dan penatagunaan hutan yang dilakukan
melalui kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat yang
petunjuk pelaksanaannya ditetapkan melalui SK Menteri Pertanian No. 680/1981.
Penunjukan kawasan
hutan mencakup pula kawasan perairan yang menjadi bagian dari Kawasan Suaka Alam
(KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Kawasan hutan
dibagi kedalam kelompok Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi
dengan pengertian sebagai berikut :
-
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
-
Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
-
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan produksi terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi.
Hutan konservasi terdiri dari
:
-
Kawasan hutan suaka alam berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM);
-
Kawasan hutan pelestarian alam berupa Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (THR) dan Taman Wisata Alam (TWA); dan
-
Taman Buru (TB).
Kawasan Suaka Alam (KSA)
adalah hutan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sislem penyangga
kehidupan.
Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya
Taman Buru adalah kawasan
hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
Keadaaan penutupan lahan /
vegetasi Indonesia
diperoreh dari hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ secara lengkap
menggunakan data liputan tahun 2002-2003. Penafsiran untuk penutupan lahan/
vegetasi dibagi kedalam tiga klasifikasi utama yaitu Hutan, Non Hutan dan Tidak
ada data, yang kemudian masing-masing diklasifikasikan lagi secara lebih detil
menjadi kelas-kelas sebagai berikut :
Klasifikasi
Hutan terdiri dari : Hutan lahan kering primer, Hutan lahan kering sekunder, Hutan
rawa primer, Hutan rawa sekunder, Hutan mangrove primer, Hutan mangrove sekunder
dan Hutan Tanaman
Klasifikasi Non
Hutan terdiri dari : Semak/Belukar, Belukar rawa, Pertanian lahan kering campur semak,
Perkebunan, Pemukiman, Pertanian lahan kering, Rawa, Savanna, Sawah, Tanah
terbuka, Tambak, Transmigrasi, Pertambangan dan Bandara
Klasifikasi
Tidak Ada Data terdiri dari : tertutup awan dan tidak ada data.
Berdasarkan hasil penafsiran
citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002/2003, total daratan yang ditafsir adalah
sebesar 187,91 juta ha kondisi penutupan lahan, baik di dalam maupun di luar
kawasan, adalah :
- Hutan
: 93,92 juta ha (50 %)
- Non
hutan : 83,26 juta
ha (44 %)
- Tidak
ada data : 10,73 juta ha (6 %)
Khusus di dalam
kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya adalah
sebagai berikut:
- Hutan
: 85,96 juta ha (64 %)
- Non
hutan : 39,09 juta
ha (29 %)
- Tidak
ada data : 8,52 juta ha (7 %)
Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan akan lahan untuk kegiatan pembangunan,
Departemen Kehutanan telah mengalokasikan Kawasan Hutan Produksi yang dapat
dikonversi (HPK).
Untuk tahun 2004, di seluruh Indonesia tidak ada pelepasan kawasan hutan untuk
kegiatan budidaya non kehutanan, yaitu sektor pertanian/perkebunan dan
transmigrasi.
2.2.2. Keanekaragaman Hayati
Dalam rangka memelihara keutuhan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya telah
dan sedang dilakukan upaya antara lain sebagai berikut :
1) Menunjuk, menata dan mengelola kawasan-kawasan cagar alam,
suaka margasatwa, taman wisata, taman buru, taman nasional dan taman hutan raya.
Sampai dengan saat ini, sudah terdapat 24 taman nasional di Indonesia. Kawasan
suaka alam tersebut telah dipilih sedemikian rupa sehingga 70 tipe ekosistem
yang terdapai di tanah air terwakili dan aman. Habitat dari binatang endemik
telah mendapat prioritas untuk dilindungi.
2) Melindungi satwa dan tumbuhan langka Indonesia dengan Undang-undang sehingga
satwa/tumbuhan tersebut tidak boleh dipanen atau diperdagangkan. Terdapat lebih
dari 750 jenis binatang menyusui (mamalia),1.250 jenis burung, 600 jenis
binatang melata dan amphibia, 9.000 jenis ikan, 12.000 serangga /Arthopoda dan
25.000 - 30.000 jenis tumbuhan berbiji. Banyak diantara jenis tersebut di atas telah dilindungi oleh Pemerintah yaitu : 100 jenis binatang 8
menyusui, 372 jenis burung, 28 jenis binatang melata/amphibia, 6 jenis ikan, 20
jenis serangga dan 38 jenis tumbuhan berbiji.
3) Memelihara komitmen Indonesia terhadap Convention on International Trade, on Endangered Species of Flora and Fauna
(CITES). Indonesia adalah salah, satu negara yang meratifikasi CITES. Selain itu
Indonesia juga meratifikasi konvensi yang mengatur perlindungan binatang yang
hidup di lahan basah (Wetland) seperti burung migran, ikan, penyu, buaya dan
lain-lain.
4) Mengupayakan pengurangan tekanan terhadap kawasan
konservasi melalui : .
a) pengembangan/pengelolaan "bufferzone"
b) pengalihan/peningkatan pemanfaatan wisata alam
5) Peningkatan peran serta masyarakat dalam konservasi sumber daya alam
terutama melalui pendidikan kader konservasi, pramuka dan lembaga swadaya
masyarakat sekitar hutan.
6) Mengintegrasikan usaha konservasi keanekaragaman hayati
pada semua kawasan hutan termasuk hutan produksi melalui :
a) menyisihkan tegakan benih (Seedstand) di dalam areal HPH,
yaitu 100 hektar setiap rencana karya lima tahunan (RKL) yang sekaligus dapat
berfungsi sebagai kantong-kantong konservasi.
b) memberlakukan jalur selebar 500 - 1.000 meter sepanjang
perbatasan HPH dengan kawasan konservasi sebagai zona penyangga (buffer-zone).
c) menerapkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
terhadap HPH, HTI dan pembangunan kehutanan lainnya, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986.
7) Membuat peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya untuk diimplementasikan di lapangan.
3. Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan ( AMDAL ).
AMDAL diperkenalkan pertama kali tahun 1969 oleh National Environmental Policy
Act di Amerika Serikat. Menurut UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan PP No. 27/1999 tentang Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL)
adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan
yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Hal-hal
yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi,
sosial budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di
satu sisi merupakan bagian studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini
dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan timbul dari usaha dan/atau
kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif
dan mengembangkan dampak positif.
Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di antaranya
digunakan kriteria mengenai :
-
besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
-
luas wilayah penyebaran dampak;
-
intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
-
banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena dampak;
-
sifat kumulatif dampak;
-
berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1 Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan
dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi :
-
pengubahan bentuk lahan dan bentang alam
-
eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharu
-
proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
-
proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
-
proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya;
-
introduksi jenis tumbuh -tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik;
Tujuan secara umum AMDAL adalah menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan
serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin.
Dengan demikian AMDAL diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
pelaksanaan rencana kegiatan yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup.
Untuk proses pelaksanaan AMDAL dapat dilihat dibawah ini.
Gambar.1. Proses AMDAL
Keterangan :
-
Pelingkupan adalah proses pemusatan studi pada hal – hal penting yang berkaitan dengan dampak penting.
-
Kerangka acuan (KA ANDAL) adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup y ang merupakan hasil pelingkupan.
-
Analisis dampak lingkungan hidup (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
-
Rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
-
Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang
diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan
pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu
syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil
studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk
mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau
kegiatan.
Prosedur
pelaksanaan AMDAL menurut PP. No. 27 th 1999 adalah sebagai berikut.
Gambar.2. Prosedur pelaksanaan AMDAL
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai AMDAL,
pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan. Penjelasannya
adalah sebagai berikut:
-
Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
-
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
-
Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.
4. Penerapan
AMDAL pada Pembangunan di Bidang Kehutanan.
Dalam rangka pembangunan di bidang kehutanan, berbagai jenis kegiatan
pemanfaatan hutan dan hasil hutan telah dan sedang dilaksanakan. Pelaksanaan
kegiatan pembangunan kehutanan tersebut perlu dijaga kelangsungannya. Oleh karena itu, telah dikembangkan berbagai upaya dalam rangka menjamin kelestarian
fungsi dan manfaat hutan serta hasil hutan, seperti pengembangan berbagai sistem
silvikultur, diantaranya Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Untuk melaksanakan
rehabilitasi kawasan hutan yang berupa tanah kosong dan atau kritis telah
dikembangkan Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
1991. Walaupun berbagai upaya telah dan sedang dilaksanakan dalam rangka
menjamin kelangsungan pembangunan di bidang kehutanan, ternyata
kegiatan-kegiatan tersebut mempunyai potensi timbulnya dampak lingkungan. Oleh
karena itu, AMDAL diberlakukan yang kegunaannya adalah untuk membantu dalam
pengambilan keputusan, perencanaan dan pengelolaan lingkungan dari rencana
kegiatan yang bersangkutan.
Secara garis besar, kegiatan pembangunan di bidang Kehutanan dapat dikelompokkan
ke dalam : (1) Hak Pengusahaan Hutan; (2) Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri;
(3) Pengusahaan Obyek Wisata Alam; dan (4) Pengusahaan Hasil Hutan lainnya.
4.1.
Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
Hak Pengusahaan Hutan adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan
hutan yang meliputi penebangan kayu, permudaan dan pemeliharaan hutan,
pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan Rencana Pengusahaan menurut
ketentuan-ketentuan yang berlaku serta berdasarkan azas kelestarian hutan dan
azas perusahaan. Dalam pelaksanaannya, telah diterbitkan berbagai peraturan
dalam rangka mengupayakan terwujudnya prinsip kelestarian hasil (sustained yield principle), yaitu dengan memberlakukan sistem-sistem silvikultur yang sesuai dengan kondisi
dan potensi hutan yang bersangkutan antara lain adalah Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI). Walaupun demikian, diperkirakan terdapat potensi dampak
lingkungan kegiatan pengusahaan hutan. Potensi dampak penting terhadap
lingkungan yang diakibatkan oleh pelaksanaan pengusahaan hutan ini antara lain
adalah sebagai berikut :
a. Kamponen Fisik Kimia
-
Pengurangan luasan penutupan lahan akibat kegiatan pembukaan wilayah hutan, penebangan, penyaradan dan juga akibat peladangan berpindah yang merupakan dampak tidak langsung;
-
Pemadatan tanah akibat pelaksanaan kegiatan penyaradan, terutama terjadi pada jalan-jalan sarad;
-
Peningkatan aliran permukaan dan erosi yang selanjutnya dapat meningkatkan debit sungai dan sedimentasi. Hal ini diakibatkan oleh pembukaan wilayah hutan, penyaradan dan juga akibat peladangan berpindah;
-
Perubahan sifat fisik air, terutama peningkatan kekeruhan akibat sedimentasi dan perubahan sifat kimia air.
b. Komponen Biologi
-
Dampak penting pada vegetasi hutan akibat penebangan antara lain adalah perubahan struktur, kualitas dan potensi kayu;
-
Dampak penting pada satwa liar akibat kegiatan pengusahaan hutan adalah hilangnya/berkurangnya habitat satwa yang menyebabkan terjadinya migrasi satwa terutama satwa arboreal ke areal lain, khususnya hutan yang belum dibuka;
-
Perubahan kualitas air yang selanjutnya dapat menimbulkan dampak terhadap biota perairan;
c. Komponen Sosial Ekonomi dan Budaya
-
Dampak penting terhadap sosial ekonomi budaya yang timbul antara lain : (a) penyerapan tenaga kerja, (b) peningkatan pendapatan, (c) multiplikasi ekonomi, (d) perkembangan ekonomi wilayah, (e) peningkatan pendidikan dan kesehatan masyarakat, (f) perhubungan dan komunikasi, (g) perubahan orientasi nilai budaya, dan (h) persepsi masyarakat terhadap kegiatan kehutanan.
4.2. Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI)
Pembangunan HTI
dilakukan berdasar pada Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990, SK Menteri
Kehutanan No. 416/Kpts-II/1989 tentang Tata Cara Permohonan Hak Pengusahaan HTI
dan SK Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan No 055/Kpts/V/1989
tentang Pedoman Pembangunan HTI. Berdasarkan tujuan pembangunannya, prosedur
pelaksanaan dibedakan menjadi dua yaitu HTI pulp dan HTI non pulp. Namun
demikian dilihat dari status perubahan lingkungan, keduanya tidak menunjukkan
perbedaan.
Sebagian besar
lokasi HTI yang dibangun berada pada tipe hutan hujan tropika humida. Tipe hutan
ini mengisyaratkan bahwa keterkaitan antara komponen penyusun hutan sangat kuat
dan bahkan merupakan salah satu mekanisme internal untuk mengatasi kesuburan
tanah yang rendah karena rendahnya KPK (Kapasitas Pertukaran Kation), pencucian
yang tinggi, keasaman yang tinggi dan rendahnya muatan negatif partikel tanah.
Karakteristik hutan semacam ini bervariasi sejalan dengan adanya variasi iklim,
topografi, jenis tanah dan tipe vegetasinya. Dengan demikian perubahan dari
vegetasi asli menjadi HTI memberikan banyak sekali kemungkinan terhadap kualitas
HTI yang terbentuk, terutama setelah masuknya variabel baru lagi seperti jenis
tanaman pokok yang terpilih dan cara budidayanya.
Kualitas HTI yang
terbentuk nanti, akan berpengaruh terhadap berbagai komponen lingkungan selain
vegetasi hutannya sendiri yaitu baik terhadap lingkungan fisik/kimia, biologis
maupun sosial budaya. Karena itu walaupun azas pembanguaan HTI sendiri adalah
manfaat, ekonomis dan kelestarian, namun penilaian kelayakan lingkungan terasa
sangat penting untuk mengevaluasi kualitas hutan yang akan terjadi, beserta
dampak yang mengikutinya. Dewasa ini penilaian lingkungan pembangunan HTI
dilakukan dalam bentuk PIL (Penyajian Informasi Lingkungan) bersama dengan
pelaksanaan Studi Kelayakan. Mengingat banyaknya ragam yang mungkin terjadi
dalam pelaksanaan HTI maka kelayakan lingkungan patut mendapatkan hak sejajar
dengan studi kelayakannya, dan bahkan dalam bentuk yang lebih detail daripada
hanya PIL.
Pelaksanaan Amdal
dalam pembangunan unit HTI mengikuti arahan yang tertuang pada Pedoman Teknis
Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri
dalam SK Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 05/Kpts/DJ-VI/l990,
SK Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan mengenai Pedoman
Peayusunan Studi Kelayakan Pembangunan HTI dan Kepmen Kehutanan No. 47/Kpts-II/1999
tentang Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Dalam kedua pedoman ini tampak bahwa
Amdal pembangunan HTI merupakan salah satu pendekatan untuk melaksanakan studi
kelayakan pembangunan HTI. Namun demikian dalam pelaksanaannya, tampak bahwa
keduanya masih berjalan secara terpisah dan belum terkoordinasi dengan baik.
Mengingat bahwa kelayakan lingkungan secara teknis diperlukan dalam studi
kelayakan pembangunan HTI, sudah selayaknya koordinasi dalam pelaksanaan kedua
pedoman tersebut dibenahi dan mempunyai kekuatan hukum yang sama dalam
menentukan kelanjutan perencanaan pembangunan HTI.
Pemberian SK Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dilaksanakan selambat-lambatnya 5 tahun
sesudah diberikan ijin percobaan penanaman dan dilakukan penilaian keberhasilan
percobaan penanaman. Dalam hal ini penilaian ijin percobaan penanaman tidak
disertai penilaian/evaluasi lingkungan. Padahal, keberhasilan tanaman sesaat
belum menjamin dampak positif terhadap lingkungan. Walaupun permasalahan
lingkungan telah diperhitungkan dalam Studi Kelayakan, namun pertimbangannya
masih bersifat hipotetis, sedangkan pada saat penilaian ini pengaruh riel (walaupun
masih dalam skala kecil) sudah dapat
dideteksi: Diantara banyak ragam ekosistem sebelum dilakukan pembangunan HTI
ditambah dengan ragam pengelolaan tanaman yang diberikan akan mulai kelihatan
berdampak pada komponen lingkungan dan ekosistem yang lain. Pada saat inilah justru merupakan posisi sangat penting yaitu menentukan
pemberian SK HPHTI. Oleh karena itu evaluasi lingkungan menjadi penting untuk
dilakukan bersamaan dengan evaluasi keberhasilan ijin percobaan penanaman.
Walaupun secara
teoritis pelaksanaan Amdal dalam pembangunan unit HTl telah mendasarkan pada
pedoman yang ditetapkan, namun kenyataan dalam praktek terdapat banyak persoalan
yang dapat mengurangi kualitas dokumen Amdal yang dihasilkan. Karena itu banyak produk dokumen Amdal yang
dikerjakan atas dasar pendekatan yang berbeda satu dengan yang lain pada subyek
yang sama, sehingga memberikan hasil yang sangat berbeda.
Dalam acuan/arahan/pedoman
yang ditetapkan tidak memberikan ketentuan tentang cara pengambilan contoh/sampel
yang mewakili areal studi, sehingga derajad ketelitian suatu studi Amdal akan
sangat bervariasi tergantung pada interprestasi penyusun Amdal. Ketelitian
pengambilan sampel yang sering diwujudkan dalam intensitas sampling, sangat
menentukan terhadap hasil yang seharusnya mencakup keseluruhan areal studi. Jika
sampel areal studi tidak mencapai ketelitian yang diharapkan, maka dampak yang
diperkirakan juga akan menjadi tidak teliti pula. Demikian .pula peta-peta yang
diperlukan selain tidak ditetapkan jenisnya, skala peta juga masih bervariasi,
sehingga ikut mempengaruhi kualitas hasil yang diharapkan.
Studi Amdal antara
lain adalah memperkirakan dampak yang terjadi bila direncanakan suatu kegiatan
tertentu. Untuk itu diperlukan ukuran baku kondisi lingkungan atau yang disebut
baku mutu lingkungan Namun mengingat tipe ekosistem awal sebelum HTI dibangun
banyak, maka. baku mutu lingkungan ini perlu ditetapkan sesuai dengan tipe ekosistem yang ada di Indonesia ini. Jika hal ini tidak didasarkan pada setiap tipe hutan/ekosistem,
maka dugaan dampak yang terjadi dapat diharapkan tidak mendekati kebenaran.
Metode perkiraan dampak merupakan salah satu langkah pendekatan penting dalam
studi Amdal baik yang menggunakan metode formal maupun non formal. Dengan
demikian cara ini banyak memberikan kesempatan penyusun Amdal untuk
berimprovisasi dalam menggunakan metode tersebut. Ketidakpastian dalam
menggunakan metode, akan memberikan perkiraan dampak yang berbeda walaupun
materi yang dikerjakan tidak berbeda.
Dengan banyaknya variabel yang ikut mempengaruhi dalam pembangunan unit HTI,
diperlukan kualitas pelaksana yang memadai. Bagaimanapun baiknya sarana dan
prasarana studi Amdal, sebagai penentunya adalah manusia yang menyusun Amdal itu
sendiri.
4.3.
Pengusahaan Obyek Wisata Alam
Pengusahaan obyek wisata alam diijinkan untuk dilaksanakan dalam zona
pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Pengusahaan
obyek wisata alam ini mempunyai sasaran antara lain sebagai berikut :
-
Terbukanya bidang usaha dalam bentuk industri wisata alam;
-
Masuknya modal (BUMN, Swasta, Koperasi) di bidang wisata alam;
-
Membuka kesempatan masyarakat di sekitar obyek wisata alam dalam usaha jasa pariwisata.
Kegiatan pengelolaan obyek wisata alam dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
antara lain sebagai berikut :
-
Pemanfaatan kawasan sesuai dengan fungsinya;
-
Dipertahankannya lingkungan obyek wisata sealami mungkin;
-
Pengaturan dan pengendalian dampak negatif akibat aktivitas pengunjung.
Dengan demikian, pada umumnya dampak lingkungan kegiatan pengusahaan
obyek
wisata alam bersifat positif, yaitu terhadap komponen
sosial ekonomi dan budaya. Dampak positif yang timbul antara lain : (a)
penyerapan tenaga kerja, (b) peningkatan pendapatan, (c)
diversifikasi kesempatan berusaha, (d) perkembangan
ekonomi wilayah, (e) peningkatan pendidikan dan kesehatan masyarakat,
(f) perhubungan dan komunikasi,
(g) perubahan orientasi nilai budaya, dan (h) persepsi
masyarakat terhadap
kawasan konservasi.
4.4.
Pemanfaatan Hasil Hutan Lainnya
Kegiatan pengusahaan hasil hutan lainnya sangat beragam, tergantung pada jenis
hasil hutan yang dimanfaatkan. Kegiatan ini hanya diijinkan di luar kawasan
konservasi seperti hutan lindung, cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata
alam, dan taman nasional. Jenis-jenis hasil hutan yang diusahakan antara lain
adalah sagu, nipah, rotan, getah jelutung, sutera alam, minyak kayu putih,
gondorukem, terpentin, kopal, damar, kemenyan, tengkawang, madu lebah, satwa
liar termasuk sarang burung dan gambut. Pada umumnya kegiatan pemanfaatan hasil
hutan tersebut diprakirakan tidak berdampak penting negatif, kecuali untuk
pemanfaatan satwa liar dan gambut. Pemanfaatan satwa liar akan berpengaruh
terhadap populasi, komposisi satwa dan dominasi jenis yang selanjutnya akan
mempengaruhi rantai makanan dan habitat aslinya. Namun untuk pemanfaatan satwa
liar ini telah dilakukan pembatasan penangkapan berdasarkan kuota. Hal ini
dimaksudkan agar penangkapan/pemanfaatan didasarkan atas riap yang dihasilkan
dari suatu populasi satwa. Pemanfaatan gambut diperkirakan akan berdampak
penting negatif terutama karena terjadinya perubahan ekosistem gambut secara
total akibat pengangkatan/pengerukan gambut.
5. Penutup
Dalam rangka peningkatan pembangunan kehutanan yang berwawasan lingkungan, maka
setiap rencana kegiatan yang diprakirakan menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan hidup, wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 500/Kpts-II/1989
tentang AMDAL dan SEMDAL Pembangunan Kehutanan.
Kualitas pelaksanaan AMDAL, sangat ditentukan oleh para pemeran sistem AMDAL,
yaitu :
1. Pemrakarsa kegiatan
2. Konsultan Penyusun AMDAL
3. Departemen/Komisi Pusat
4. Pemerintahan Daerah/Komisi Daerah
5.
Kantor Menteri Negara KLH/BAPEDAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Telah Mau Berkunjung Datang di Blog Berita Bagi Kita Semua, Siapapun Anda Boleh Menulis, Berkomentar, Mengirimkan Berita, Membuat Artikel ataupun Menceritakan tentang Hobby Masing-Masing, Kami Tidak bertanggung Jawab Dengan Akibat Yang ditimbulkan Konten Berita dan Artikel di Blog Ini, Pikir itu Pelita Hati,Jadi PIKIRKANLAH!!!, Komentar Yang Meniggalkan Links PORNO Akan Dihapus!!!