Kamis, 08 Maret 2012

Cadangan Migas 2 Triliun Barel, Sebagian Dikuasai Asing

JAMBI - Sumber Daya Alam (SDA) Jambi sangat melimpah. Ada Minyak dan Gas (Migas), Cassiavera (kulit kayu manis) yang menjadi primadona dunia, batu bara dan lainnya. Namun, sayang semua itu belum tergarap secara maksimal. Kalaupun sudah, tidak semuanya dinikmati masyarakat Jambi.
Potensi cadangan minyak dan gas (migas) di Jambi cukup menjanjikan. Menurut Kepala Perwakilan BP Migas Sumatera Bagian Selatan Elan Biantoro, cadangan migas di Jambi diperkirakan mencapai 2 triliun
barel kaki kubik. Rinciannya, potensi gas mencapai 1 triliun sedangkan minyak diperkirakan lebih dari 1 triliun.
“Perkiraannya segitu,” katanya kepada Jambi Independent ketika menggelar diskusi di stan BP Migas Jambi Expo, Jumat (10/2) lalu. Sedangkan produksi migas per harinya di Jambi, kata dia, mencapai angka 5 hingga 60 ribu barel ekivalen. Artinya, produksi migas baru berkisar 5 sampai 10 persen saja dari cadangan migas yang ada di Jambi. “Potensi migas itu terletak di empat kabupaten,” ujarnya.
Menurut Elan, potensi migas paling besar berada di wilayah Tanjung Jabung Barat. Kemudian disusul Tanjung Jabung Timur, Sarolangun dan Muarojambi. Namun, bukan berarti daerah lainnya tidak berpotensi memiliki cadangan Migas. Daerah seperti Merangin dan Bungo diperkirakan juga menyimpan sumber daya alam seperti migas.
Lebih lanjut Elan mengatakan, produksi migas di Jambi terus merangkak naik. Bahkan, menurut Elan, produksi migas Jambi mengalahkan Sumsel. “Meski jumlah produksinya masih di bawah Sumsel, tapi produksi Jambi tiap harinya selalu meningkat. Sedangkan Sumsel mengalami penurunan,” jelasnya.
Dia mengatakan, betapa makmur dan sejahteranya bila semua hasil eksplorasi ini dinikmati sepenuhnya oleh warga Jambi. Sayangnya, sebagian besar hasil eksplorasi tersebut dikuasai oleh perusahaan swasta asing. Maklum, baik modal, tenaga ahli, maupun peralatan hampir seluruhnya disuplai oleh perusahaan asing, seperti Petrochina, Conoco Philips.
Praktis, pembagian keuntungan dari bisnis tersebut sebagian besar dinikmati oleh mereka. Sedangkan sebagai pemilik kekayaan alam tersebut hanya mendapat sedikit keuntungan.
Dia mencontohkan, dana bagi hasil (DBH) yang diterima Jambi pada 2011 dari minyak bumi hanya Rp 349 M. Sedangkan DBH dari Gas bumi hanya Rp 731 M. “Total bagi hasil untuk Jambi mencapai Rp 1,08 triliun,” katanya.
Bayangkan, dari total pendapatan yang mencapai puluhan bahkan ratusan triliun rupiah itu, Jambi hanya kecipratan Rp 1 triliun, tegasnya. Sedangkan triliunan rupiah lainnya menjadi hak milik perusahaan asing alias menguap ke negara lain.
“Kita tentu berharap kontribusi sektor migas terhadap pembangunan daerah harus maksimal ditingkatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Tugas BP Migas juga memantau penyaluran DBH yang belum menyentuh langsung masyarakat sekitar,” jelasnya.
“Kita tak menampik ada masyarakat di daerah penghasil migas yang merasa tidak ada keadilan. Alokasi dana miliaran, bahkan triliunan rupiah seolah hanya berupa angka-angka, tapi semua itu akan dibenahi,” katanya. 
Elan mengatakan, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, BP Migas tidak hanya mengucurkan dana tanggung jawab sosial (CSR). Tapi, kata dia, BP Migas berkontribusi terhadap peningkatan tingkat pendidikan dan membantu menyediakan kebutuhan akan lapangan pekerjaan.
“Kita juga telah mengucurkan dana untuk program bedah rumah Samisake,” katanya. “Kontribusi untuk listrik daerah juga akan kita perhitungkan,” pungkasnya.
Selain minyak dan gas (migas), tidak banyak yang tahu bahwa dimata dunia, Indonesia merupakan produsen terbesar Cassiavera (kulit kayu manis). Elizabeth Tjahjadarmawan, penulis buku “Cassiavera dari Kerinci Primadona Dunia” mengatakan, sebagian besar kebutuhan dunia terhadap produk ini dipasok oleh Indonesia.
Bahkan, kata dia, Kabupaten Kerinci, Jambi merupakan penghasil Cassiavera terbesar di dunia. “Hingga tahun 2009 luas areal penanaman Cassiavera di Kerinci mencapai sekitar 41.825 hektare. Seluruh areal lahan Cassiavera di daerah lain dan belahan dunia masih jauh lebih kecil dibanding Kerinci,” kata Elizabeth ketika diwawancarai Jambi Independent di sela-sela pameran pers dan Jambi Emas Expo, kemarin (12/2).
Pantun : Pemda Tidak Tanggap Mengelola SDA
Lalu, bagaimana dampak dari sumber daya alam yang melimpah itu bagi masyarakat Jambi? Ekonom dari Universitas Batanghari (Unbari) Pantun Bukit menilai, selama ini masyarakat Jambi tak banyak yang ikut menikmati hasil produksi SDA tersebut. Ini lebih disebabkan pemerintah daerah (pemda) tidak tanggap dalam menangani dan mengelola SDA yang ada.
Dia mencontohkan dalam pengelolaan migas. Menurutnya, potensi migas Jambi tak kalah jauh dari Riau dan Sumsel. Tapi sayang, kemakmuran masyarakat Jambi jauh di bawah Riau dan Sumsel. “Ini fakta yang ada dan yang kita rasakan,” tegasnya saat dihubungi malam tadi.
Dia menilai peranan pemda dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor migas, minim. Pemda dinilainya belum berpihak kepada masyarakat sehingga hasil migas malah dinikmati segelintir orang.
“Memang dana bagi hasil migas kita kecil dibanding daerah penghasil lainnya. Parahnya, masyarakat tak pernah merasakan manfaat dana bagi hasil itu. Buktinya, sekolah masih bayar, berobat masih bayar, warga miskin kian banyak,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut Pantun, pemda berani mem-pressure (menekan) pihak swasta yang mengelola migas itu, agar mengalihkan gas buang dari pengolahan migas untuk energi listrik. Namun sayang, jangankan untuk mem-pressure, sekedar memberi saran saja, pemda sepertinya tak punya nyali.
“Kita sekarang defisit untuk listrik. Kita ini ibaratnya ayam mati di lumbung padi,” sindirnya. “Harusnya kita bisa memanfaatkan melimpahnya produksi migas untuk listrik. Kok ada desa yang masyarakatnya masih pake lilin di daerah yang memproduksi migas. Kan aneh,” imbuhnya.
Dosen Unbari ini juga menyindir kurangnya inisiatif Pemda dalam pengolahan Cassiavera. Akibatnya, Cassiavera Kerinci yang ber-kelas A justru dinikmati orang lain.
Bukan itu saja, kata dia, hampir 90% Cassiavera di ekspor lewat Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera barat. Justru, Sumbar yang dikenal sebagai daerah pengekspor Cassiavera nomor satu dunia, bukan Kerinci, Jambi.
“Padahal itu produk kerinci. Yang harusnya itu menjadi income daerah Jambi. Karena pemda kurang tanggap, justru Pemda Sumbar yang menikmati income dari penjualan itu,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan, ada beberapa faktor penyebab Cassiavera Kerinci tak terkelola dengan baik oleh Pemda Jambi. Pertama, masalah akses transportasi.
“Akses jalan Kerinci-Hambi yang tak pernah bagus. Ini sebabnya penjualan Cassiavera justru lebih banyak lari ke Padang,” tegasnya.
Kedua, problem pelabuhan. Menurutnya, Provinsi Jambi tak punya pelabuhan yang layak untuk jalur perdagangan internasional. Kendati demikian, dia berharap pemda dapat mengakalinya dengan mengalihkan saluran distribusi Cassiavera ke Jambi. “Jangan biarkan Cassiavera dijual lewat Padang. Pemda harus tegas,” katanya.
Ketiga, pengembangan Cassiavera ke dalam industri hilir harus secepatnya dilakukan pemerintah. Artinya, Pemda harus mengeluarkan kebijakan agar Cassiavera tidak lagi dijual mentah, namun sudah terolah.
“Tentunya, pemda harus menyediakan tempat produksi seperti pabrik pengolahan Cassiavera menjadi oil di kerinci. Intinya pemda harus inisiatif untuk menyejahterakan petani. Ini yang masih kurang,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Telah Mau Berkunjung Datang di Blog Berita Bagi Kita Semua, Siapapun Anda Boleh Menulis, Berkomentar, Mengirimkan Berita, Membuat Artikel ataupun Menceritakan tentang Hobby Masing-Masing, Kami Tidak bertanggung Jawab Dengan Akibat Yang ditimbulkan Konten Berita dan Artikel di Blog Ini, Pikir itu Pelita Hati,Jadi PIKIRKANLAH!!!, Komentar Yang Meniggalkan Links PORNO Akan Dihapus!!!