Potensi cadangan minyak dan gas (migas) di Jambi
cukup menjanjikan. Menurut Kepala Perwakilan BP Migas Sumatera Bagian
Selatan Elan Biantoro, cadangan migas di Jambi diperkirakan mencapai 2
triliun
barel kaki kubik. Rinciannya, potensi gas mencapai 1 triliun
sedangkan minyak diperkirakan lebih dari 1 triliun.
“Perkiraannya
segitu,” katanya kepada Jambi Independent ketika menggelar diskusi di
stan BP Migas Jambi Expo, Jumat (10/2) lalu. Sedangkan produksi migas
per harinya di Jambi, kata dia, mencapai angka 5 hingga 60 ribu barel
ekivalen. Artinya, produksi migas baru berkisar 5 sampai 10 persen saja
dari cadangan migas yang ada di Jambi. “Potensi migas itu terletak di
empat kabupaten,” ujarnya.
Menurut Elan, potensi
migas paling besar berada di wilayah Tanjung Jabung Barat. Kemudian
disusul Tanjung Jabung Timur, Sarolangun dan Muarojambi. Namun, bukan
berarti daerah lainnya tidak berpotensi memiliki cadangan Migas. Daerah
seperti Merangin dan Bungo diperkirakan juga menyimpan sumber daya alam
seperti migas.
Lebih lanjut Elan mengatakan,
produksi migas di Jambi terus merangkak naik. Bahkan, menurut Elan,
produksi migas Jambi mengalahkan Sumsel. “Meski jumlah produksinya masih
di bawah Sumsel, tapi produksi Jambi tiap harinya selalu meningkat.
Sedangkan Sumsel mengalami penurunan,” jelasnya.
Dia
mengatakan, betapa makmur dan sejahteranya bila semua hasil eksplorasi
ini dinikmati sepenuhnya oleh warga Jambi. Sayangnya, sebagian besar
hasil eksplorasi tersebut dikuasai oleh perusahaan swasta asing. Maklum,
baik modal, tenaga ahli, maupun peralatan hampir seluruhnya disuplai
oleh perusahaan asing, seperti Petrochina, Conoco Philips.
Praktis,
pembagian keuntungan dari bisnis tersebut sebagian besar dinikmati oleh
mereka. Sedangkan sebagai pemilik kekayaan alam tersebut hanya mendapat
sedikit keuntungan.
Dia mencontohkan, dana bagi
hasil (DBH) yang diterima Jambi pada 2011 dari minyak bumi hanya Rp 349
M. Sedangkan DBH dari Gas bumi hanya Rp 731 M. “Total bagi hasil untuk
Jambi mencapai Rp 1,08 triliun,” katanya.
Bayangkan,
dari total pendapatan yang mencapai puluhan bahkan ratusan triliun
rupiah itu, Jambi hanya kecipratan Rp 1 triliun, tegasnya. Sedangkan
triliunan rupiah lainnya menjadi hak milik perusahaan asing alias
menguap ke negara lain.
“Kita tentu berharap
kontribusi sektor migas terhadap pembangunan daerah harus maksimal
ditingkatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Tugas BP Migas juga
memantau penyaluran DBH yang belum menyentuh langsung masyarakat
sekitar,” jelasnya.
“Kita tak menampik ada
masyarakat di daerah penghasil migas yang merasa tidak ada keadilan.
Alokasi dana miliaran, bahkan triliunan rupiah seolah hanya berupa
angka-angka, tapi semua itu akan dibenahi,” katanya.
Elan
mengatakan, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, BP Migas
tidak hanya mengucurkan dana tanggung jawab sosial (CSR). Tapi, kata
dia, BP Migas berkontribusi terhadap peningkatan tingkat pendidikan dan
membantu menyediakan kebutuhan akan lapangan pekerjaan.
“Kita
juga telah mengucurkan dana untuk program bedah rumah Samisake,”
katanya. “Kontribusi untuk listrik daerah juga akan kita perhitungkan,”
pungkasnya.
Selain minyak dan gas (migas),
tidak banyak yang tahu bahwa dimata dunia, Indonesia merupakan produsen
terbesar Cassiavera (kulit kayu manis). Elizabeth Tjahjadarmawan,
penulis buku “Cassiavera dari Kerinci Primadona Dunia” mengatakan,
sebagian besar kebutuhan dunia terhadap produk ini dipasok oleh
Indonesia.
Bahkan, kata dia, Kabupaten Kerinci,
Jambi merupakan penghasil Cassiavera terbesar di dunia. “Hingga tahun
2009 luas areal penanaman Cassiavera di Kerinci mencapai sekitar 41.825
hektare. Seluruh areal lahan Cassiavera di daerah lain dan belahan dunia
masih jauh lebih kecil dibanding Kerinci,” kata Elizabeth ketika
diwawancarai Jambi Independent di sela-sela pameran pers dan Jambi Emas
Expo, kemarin (12/2).
Pantun : Pemda Tidak Tanggap Mengelola SDA
Lalu,
bagaimana dampak dari sumber daya alam yang melimpah itu bagi
masyarakat Jambi? Ekonom dari Universitas Batanghari (Unbari) Pantun
Bukit menilai, selama ini masyarakat Jambi tak banyak yang ikut
menikmati hasil produksi SDA tersebut. Ini lebih disebabkan pemerintah
daerah (pemda) tidak tanggap dalam menangani dan mengelola SDA yang ada.
Dia
mencontohkan dalam pengelolaan migas. Menurutnya, potensi migas Jambi
tak kalah jauh dari Riau dan Sumsel. Tapi sayang, kemakmuran masyarakat
Jambi jauh di bawah Riau dan Sumsel. “Ini fakta yang ada dan yang kita
rasakan,” tegasnya saat dihubungi malam tadi.
Dia
menilai peranan pemda dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor
migas, minim. Pemda dinilainya belum berpihak kepada masyarakat sehingga
hasil migas malah dinikmati segelintir orang.
“Memang
dana bagi hasil migas kita kecil dibanding daerah penghasil lainnya.
Parahnya, masyarakat tak pernah merasakan manfaat dana bagi hasil itu.
Buktinya, sekolah masih bayar, berobat masih bayar, warga miskin kian
banyak,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut Pantun,
pemda berani mem-pressure (menekan) pihak swasta yang mengelola migas
itu, agar mengalihkan gas buang dari pengolahan migas untuk energi
listrik. Namun sayang, jangankan untuk mem-pressure, sekedar memberi
saran saja, pemda sepertinya tak punya nyali.
“Kita
sekarang defisit untuk listrik. Kita ini ibaratnya ayam mati di lumbung
padi,” sindirnya. “Harusnya kita bisa memanfaatkan melimpahnya produksi
migas untuk listrik. Kok ada desa yang masyarakatnya masih pake lilin
di daerah yang memproduksi migas. Kan aneh,” imbuhnya.
Dosen
Unbari ini juga menyindir kurangnya inisiatif Pemda dalam pengolahan
Cassiavera. Akibatnya, Cassiavera Kerinci yang ber-kelas A justru
dinikmati orang lain.
Bukan itu saja, kata dia,
hampir 90% Cassiavera di ekspor lewat Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera
barat. Justru, Sumbar yang dikenal sebagai daerah pengekspor Cassiavera
nomor satu dunia, bukan Kerinci, Jambi.
“Padahal
itu produk kerinci. Yang harusnya itu menjadi income daerah Jambi.
Karena pemda kurang tanggap, justru Pemda Sumbar yang menikmati income
dari penjualan itu,” katanya.
Lebih lanjut
dikatakan, ada beberapa faktor penyebab Cassiavera Kerinci tak terkelola
dengan baik oleh Pemda Jambi. Pertama, masalah akses transportasi.
“Akses
jalan Kerinci-Hambi yang tak pernah bagus. Ini sebabnya penjualan
Cassiavera justru lebih banyak lari ke Padang,” tegasnya.
Kedua,
problem pelabuhan. Menurutnya, Provinsi Jambi tak punya pelabuhan yang
layak untuk jalur perdagangan internasional. Kendati demikian, dia
berharap pemda dapat mengakalinya dengan mengalihkan saluran distribusi
Cassiavera ke Jambi. “Jangan biarkan Cassiavera dijual lewat Padang.
Pemda harus tegas,” katanya.
Ketiga,
pengembangan Cassiavera ke dalam industri hilir harus secepatnya
dilakukan pemerintah. Artinya, Pemda harus mengeluarkan kebijakan agar
Cassiavera tidak lagi dijual mentah, namun sudah terolah.
“Tentunya,
pemda harus menyediakan tempat produksi seperti pabrik pengolahan
Cassiavera menjadi oil di kerinci. Intinya pemda harus inisiatif untuk
menyejahterakan petani. Ini yang masih kurang,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Telah Mau Berkunjung Datang di Blog Berita Bagi Kita Semua, Siapapun Anda Boleh Menulis, Berkomentar, Mengirimkan Berita, Membuat Artikel ataupun Menceritakan tentang Hobby Masing-Masing, Kami Tidak bertanggung Jawab Dengan Akibat Yang ditimbulkan Konten Berita dan Artikel di Blog Ini, Pikir itu Pelita Hati,Jadi PIKIRKANLAH!!!, Komentar Yang Meniggalkan Links PORNO Akan Dihapus!!!